Minggu pagi. Bangun tidur,rambut berantakan acak-acakan, muka kusut mengkerut, mata sembab akibat tidur jam setengah lima pagi dan ditambah hujan gerimis di luar. Membuat saya semakin malas,dan mengabaikan pesan ajakan jogging. Memilih bersembunyi di bawah selimut, mendekap bantal guling dengan headphone di kuping. Cocok untuk mood saya yang dari kemaren tersangkut di jemuran,mendung bergelantung.
Sebenarnya, masalahnya adalah saya sedang dalam pelarian. Saya seorang tahanan rutan yang sedang pelarian. Pelarian yang ke seratus sebelas. Eh bukan, yang ke seribu dua ratus lima belas,ah saya tak peduli sudah tak terhitung lagi.
Entah,saya selalu melakukan hal yang saya sebut dengan “pelarian”. Ini seperti melewati perempatan dan lampu merah sedang menyala. Kamu berhenti,diam. Diam untuk berpikir. Diam untuk memperhatikan. Kemudian bergerak berdasarkan impuls yang diberikan. Tidak bereaksi, hanya menanggapi. Hingga sudah saatnya selesai mengolah impuls , saya akan menyalakan lampu hijau dan saya akan berjalan lagi. Belok atau lurus.
Payahnya, saya terlalu mematuhi aturan. Sering dibingungkan oleh rambu-rambu jalan. Ada satu perempatan dengan banyak rambu-rambu putar balik, sehingga setelah berjalan saya selalu putar balik, kembali lagi. Tentu saja hanya berputar-putar di perempatan itu. Untuk yang satu ini, saya seperti badut sirkus yang terlalu mematuhi rambu. Siapa yang menaruh rambu-rambu itu. Atau saya salah mengeja rambu. Polisi cengengesan menertawakan saya dari kejauhan. Perempatan hanya diam.
Mungkin nanti,ketika sudah tidak mampu dan terlalu lelah. Saya akan nakal, tidak mematuhi rambu. Akan benar-benar melaju buta rambu. Injak gas dalam-dalam. Hilang ingatan. Pikun dengan perempatan.
Ya! saya tahu,pertanggung-jawaban yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar